Berkarya dengan kemampuan yang dimiliki tanpa ragu untuk terus berusaha memberikan yang terbaik dan disukai banyak orang
Jumat, 11 September 2020
Tugas 3
SOAL
1. Jelaskan beberapa konsep politik yang diajarkan dalam Islam, disertai dengan ayat Al-Quran yang mendasarinya!
2. Sebut dan jelaskan kriteria pemegang kekuasaan (pemimpin) yang baik menurut ajaran Islam!
3. Jelaskan beberapa prinsip yang diajarkan oleh Al-Qur’an untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Beri penjelasan seperlunya!
4. Bagaimana pandangan Islam tentang musyawarah, dan apa kaitannya dengan upaya mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa!
Jawaban
1. Konsep politik Islam mengandung gambran khusus tentang ciri-ciri pegurusan politik yang dikehendaki oleh Islam. Objektif konsep politik Islam, untuk menjaga kepentingan agama dan juga pengurusan dunia yang tentunya melibatkan keutamaan kerajaan dan rakyat jelata. Untuk memahami konsep politik Islam, perlu dirujuk kepada nas-nas Al-Quran yang telah memberi garis panduan tentang hal tujuan pentadabiran Islam. Surahal-Nisaayat 58-591. Arahan supaya pemerintah berusaha menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya Menjalankan petadabiran degan cara yang adil. Mengawasi umat Islam supaya patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerntah. Mengarahkan supaya kembali kepada Allah dan Rasul andainya terdapat pertikaian dalam masyarakat. Surah Ali-Imran ayat 159. Menyatakan bahwa siapa yang menjadi pemimpin mesti bersikap lemah lembut, mesara rakyat, tidak melakukan sebarang tindakan provokasi yang boleh menghapuskan keyakinan rakyat, mesti bersikap lapang dada, bersedia mendengar segala pandangan, tidak jemu utuk bermusyawarah. Selain itu, satu ciri utama yang perlu diberi perhatian ialah kemampuan untuk mempertahankan wilayah jagaannya daripada sembarang ancaman musuh dalam/luar, mampu mengembangkan wilayah pimpinannya supaya rakyat dapat hak yang sewajarnya dalam kehidupan seharian.
2. Kriteria Pemimpin
Para ulama telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu jujur, kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah SWT. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Misalnya harus mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada rakyat visi, misi dan program-programnya serta segala macam peraturan yang ada secara jujur dan transparan. Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Selain ke empat sifat diatas, perlu diketahui pula syarat pemimpin dalam Islam lainnya seperti yang dijabarkan berikut ini:
a. Beragama Islam, Beriman dan Beramal Shaleh, Pemimpin beragama Islam (QS. Al-Maaidah 5: 51), dan sudah barang tentu pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.
b. Niat yang Lurus, Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya… (HR Bukhari&Muslim). Karena itu hendaklah menjadi seorang pemimpin hanya karena mencari keridhoan Allah.
c. Laki-Laki, Dalam Al-qur’an surat An nisaa’ (4) :34 telah diterangkan bahwa laki laki adalah pemimpin dari kaum wanita.“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)…”. Selain itu rasullulah SAW pun bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.” (HR Al-Bukhari).
d. Tidak Meminta Jabatan, Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, ”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (HR Bukhari&Muslim).
e. Berpegang pada Hukum Allah, Allah berfirman, ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maaidah:49).
f. Memutuskan Perkara Dengan Adil, Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (HR Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
g. Tidak Menerima Hadiah, Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda, “Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (HR Thabrani).
h. Kuat dan Sehat, …sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya (Al Qashas 28: 26).
i. BerLemah Lembut, Doa Rasullullah: “Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya”.
j. Tegas dan bukan Peragu, Rasulullah bersabda, “Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).
3. Perinsipnya antara lain:
a. Prinsip Persatuan dan Kesatuan Bangsa Al-Quran menggambarkan persatuan dari berbagai sisi. Pertama, Al-Quran mengisyaratkan bahwa kecenderungan untuk bersatu, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia. Sejak umat pertama tercipta dan menghuni dunia, saat itu pula keinginan untuk bersatu muncul. Manusia, dengan tujuan untuk melangsungkan kehidupan serta mengurangi berbagai kesulitan, saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, karena berbagai faktor terjadilah pertikaian dan peperangan. Dalam ajaran Islam baik Al-Quran maupun hadis kita temukan banyak petunjuk yang mendorong agar umat Islam memelihara persaudaraan dan persatuan di antara sesame warga masyarakat. Di antaranya adalah ayat yang menjelaskan bahwa pada mulanya manusia itu adalah satu umat ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 213 yang artinya, “Manusia sejak dahuluu adalah umat yang satu, selanjutnya Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan,...” Kedua, Al-Quran menjelaskan bahwa salah satu tugas kenabian adalah meluruskan perselisihan yang terjadi di tengah umat serta mengembalikannya kepada seruan Al- Quran seperti yang ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 213 yang artinya, “...dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk member keputusan di antara menusia tentang perkara yang mereka perselisihkan....” Ketiga, Quran menyebutkan tentang dampak dan pengaruh persatuan. Misalnya, dengan persatuan, umat Islam akan mencapai kemenangan serta kemuliaan. Selain itu, masih banyak sisi-sisi lainnya yang dijelaskan dalam Al-Quran. Dengan terciptanya persatuan maka kemenangan dan kemuliaan umat Islam akan tercipta sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Quran. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukan persatuan, sebab ancaman yang akan menghancurkan umat Islam sudah didepan mata. Kedatangan Islam dengan Al-Quran sebgai kitab sucinya selain mengembalikan bangsa yang terpecah kepada kepercayaan yang murni atau hanif dalam arti sesuai fitrah kejadian manusia yang paling primordial juga mengandung misi mempersatukan indibidu-individu dalam masyarakat yang lebih besar yang disebut dengan ummah wahidah, yaitu suatu umat yang bersatu berdasarkan iman kepda Allah mengacu pada nilai-nilai kebajikan.
b. Prinsip Persamaan Persamaan seluruh umat manusia ini ditegaskan oleh Allah dalam surat An-Nisaa ayat 1 yang artinya, “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah pula) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha mengawasi kamu.” Al-Quran begitu peduli terhadap prinsip persamaan manusia ini, sehingga karena pada dasarnya memiliki titik persamaan maka hidup dengan keadaan selalu bersatu padu menjadi lebih baik dan lebih mudah. Ayat-ayat dan beberapa hadis menjelaskan bahwa dari segi hakikat peciptaan, manusia tidaklah berbeda. Atas dasar asal-usul kejadian manusia yang seluruhnya adalah sama, maka tidak layak seseorang atau satu golongan membanggakan diri terhadap yang lain atau menghinanya. Prinsip persamaan merupakan bagian dari upaya agar manusia dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik. Namun demikian, bukan berarti bahwa manusia harus seragam dan membiarkan dirinya kehilangan kepribadiannya. Manusia sebagai individu tetap memiliki kebebasan dalam batsa-batas tertentu untuk menjalankan kehidupannya.
c. Prinsip tolong-menolong Manusia adalah makhluk sosial, tidak mungkin seseorang dapat bertahan hidup sendirian tanpa bantuan pihak lain. Tolong-menolong adalah prinsip utama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kita dapat bayangkan seandainya satu komunitas sudah luntur nilai saling menolongnya maka cepat atau lambat masyarakat tersebut pasti akan hancur. Ajaran Al-Quran menganjurkan untuk saling menolong dalam kebaikan. Hal ini ditegaskan dalam surat AL-Maaidah ayat 2 yang artinya, “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertawakallah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat besar siksa-Nya.” Maka sungguh tepat apa yang dipaparkan oleh Al-Quran bahwa manusia tidak akan pernah rugi selama mereka masih menegakkan nilai-nilai saling menolong di samping juga beriman dan beramal shalih. Secara jelas ditegaskan dalam surat Al-„Ashr yang artinya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali prang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”
4. Musyawarah adalah salah satu cara yang sangat dianjurkan oleh agama Islam dalam memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat. Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab musyawarah yang merupakan bentuk isim masdar dari kata kerja syawara, yusyawiru. Pentingnya masalah musyawarah dalam pandangan Islam sehingga satu di antara 114 surat dalam Al-Quran bernama “Assyura” artinya musyawarah. Surat Assyura bersifat Makkiyah artinya Surat ini diturunkan di Mekkah ketika kaum muslimin masih merupakan kelompok minoritas di tengah-tengah kesombongan kaum musyrikin Quraisy yang mayoritas. Ketika menghadapi perang Badar, Rasul bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan Anshar, setelah sepakat barulah Beliau dan pengikutnya menuju ke medan perang. Setelah tiba di medan perang timbul musyawarah kedua. Para sahabat semua tahu bahwa hal-hal yang berhubungan dengan ibadah murni mereka akan taat dan patuh kepada perintah Rasullullah, namun sebaliknya terhadap perintah yang bukan bersifat ibadah murni seperti “siasat perang” misalnya mereka akan balik bertanya kepada Rasul. Demikian yang dilakukan oleh Al Habbab Bin Al Munzir, ketika Rasullullah memerintahkan berhenti para pasukan pada tempat yang jauh dari sumber air. Lalu Habbab bertanya kepada Rasul: “Apakah perintah berhenti di tempat ini datang dari Allah SWT yang tidak mungkin kami bantah atau perintah ini hanyalah pendapat pribadi dalam rangka berperang dan siasat. Rasul menjawab: ini semata-mata pendapat pribadi. Habbab berkata lagi: Kalau begitu ya Rasullullah tempat ini tidak pantas sebagai tempat berhenti pasukan, lebih baik kita berhenti yang dekat dengan sumber air sebelum diduduki musuh. Rasul menjawab, pendapat Habbab sangat tepat, lalu Rasul memerintahkan seluruh pasukan untu berpindah ke tempat yang ditunjuk Habbab al Munzir. Setelah perang Badar usai dan mendapat kemenangan yang mampu menawan pasukan musuh sebanyak 70 orang, Rasul bermusyawarah dengan para sahabat tentang perlakuan terhadap para tawanan dengan pilihan; dibebaskan semuanya, dibunuh semuanya atau diberikan kebebasan untuk menebus diri mereka. Tegasnya seluruh perintah yang bukan wahyu dan yang menyangkut kepentingan orang banyak Rasul berpesan: “Antum `alamu bi umuri dunyakum” (Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu). Pelaksanan hasil musyawarah ditegaskan pula dalam Alquran Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu, maka apabila telah bulat hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” Dengan perkataan lain bahwa apabila keputusan hasil musyawarah telah disepakati maka dengan ketetapan hati keputusan itu harus dilaksanakan dengan menyerahkan diri kepada Allah. Ironinya dalam kehidupan kita meski keputusan telah diambil dengan kesepakatan bersama, namun tak jarang hasilnya tidak berani dijalankan. Hal ini persis seperti musyawarah tikus untuk mengetahui kedatangan kucing- musyawarah itu digelar dengan satu kata putus yaitu dengan cara mengikat lonceng di leher kucing. Namun ketika hasil musyawarah ini hendak dijalankan tidak seekor pun para tikus yang bersedia mengikat lonceng di leher sang kucing---tentunya sebuah keputusan yang sia-sia. Hal itu adalah musyawarah yang dibuat oleh manusia, untuk bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam adalah tukar pendapat antara orang-orang yang mempunyai pemikiran yang cerdas dari ahlul halli wal aqdi, untuk sampai pada keputusan terbaik dalam menerapkan hukum Allah atas manusia. Oleh karena itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, karena ia adalah perintah Allah, tidak boleh bagi penguasa menghapusnya untuk memaksakan kekuasaannya pada manusia: “Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 156) “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka;” (QS. Asssyuura: 38) Sedangkan dalam Negara yang menggunakan undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan memberlakukan hukum darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi sikap otoriter dan kezaliman. Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber dari Allah, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada seorang wanita yang membantahnya dalam masalah pembatasan Mahar: "Umar salah dan wanita ini benar".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar