PENDAHULUAN
Ibnu Sina
merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter dan penulis aktif yang lahir di jaman
keemasan Peradaban Islam. Pada jaman tersebut
ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani,
Persia dan India. Teks Yunani dari jaman Plato, sesudahnya hingga jaman Aristoteles
secara intensif banyak diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para
ilmuwan Islam. Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang
didirikan oleh Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, Aljabar, Trigonometri,
dan ilmu pengobatan. Pada jaman Dinasti Samayid dibagian timur persian wilayah Khurasan dan Dinasti Buyid dibagian barat
Iran dan Persian memberi suasana yang mendukung bagi perkembangan keilmuan dan
budaya. Di jaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan Baghdad menjadi
pusat budaya dan ilmu pengetahun dunia Islam.
Ilmu-ilmu
lain seperti studi tentang AlQuran dan Hadist berkembang dengan perkembangan
dengan suasana perkembangan ilmiah. Ilmu lainya seperti ilmu filsafat, Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam
sangat berkembang dengan pesat. Pada masa itu Al-Razi dan Al-Farabi
menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu pengobatan dan filsafat. Pada
masa itu Ibnu Sina memiliki akses untuk belajar di perpustakaan besar di
wilayah Balkh, Khawarezmia, Gorgan, Kota Ray, Kota Isfahan dan Hamedan. Selain
fasilitas perpustakaan besar yang memiliki banyak koleksi buku, pada masa itu
hidup pula beberapa ilmuwan muslim seperti Abu Raihan Al-Biruni seorang astronom terkenal, Aruzi Samarqandi, Abu Nashr Mansur
seorang matematikawan terkenal dan sangat teliti, Abu al-Khayr Khammar seorang
fisikawan dan ilmuwan terkenal lainya.
Dalam
sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga
memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu -
satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang
lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat
muslim beberapa abad.
Pengaruh
ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang
ia miliki itu menampakkan keasliannya
yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan
alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional
murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi
dalam sistem keagamaan Islam. Dialah yang mencatat dan menggambarkan anatomi tubuh manusia secara
lengkap untuk pertama kalinya. Dunia Islam memanggilnya dengan nama
Ibnu Sina. Namun di kalangan
orang-orang
Barat, ia dikenal dengan panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dan juga
dokter pada abad ke-10.
Dan sebagian
besar karyanya adalah tentang filsafat dan pengobatan. Bagi banyak orang, Ibnu Sina adalah Bapak
Pengobatan Modern. Selain itu, masih banyak lagi sebutan
lainnya yang ditujukan padanya, terutama berkaitan dengan karya-karyanya di
bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine yang merupakan
rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
PEMBAHASAN
1.
Riwayat Hidup
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H/ 980 M di Afsyanah, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan saat ini. Ayahnya yang berasal dari
Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniah (204-395
H/819-1005 M).
Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kepandaian yang luar biasa. Di
usia 5 tahun, ia telah belajar menghafal Alquran. Selain menghafal Alquran, ia
juga belajar mengenai ilmu-ilmu agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada
usia 16 tahun. Tidak hanya belajar mengenai teori kedokteran, tetapi melalui
pelayanan pada orang sakit dan melalui perhitungannya sendiri, ia juga
menemukan metode-metode baru dari perawatan.
Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun.
Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh
bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah.
Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan
penyakit sang raja.
Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana,
paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tapi
Ibnu Sina menolaknya dengan halus, sebagai gantinya ia hanya meminta izin untuk
mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Siapa sangka,
dari sanalah ilmunya yang luas makin bertambah.
Ibnu Sina selain terkenal sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama dan
kedokteran, ia juga ahli dalam bidang matematika, logika, fisika, geometri,
astronomi, metafisika dan filosofi. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina memperoleh
predikat sebagai seorang fisikawan. Tak
hanya itu, ia juga mendalami masalah-masalah fikih dan menafsirkan ayat-ayat
Alquran. Ia banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran untuk mendukung
pandangan-pandangan filsafatnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Setelah kematian
ayahnya ia mulai berkelana, menyebarkan ilmu dan mencari ilmu yang baru. Tempat
pertama yang menjadi tujuannya setelah hari duka itu adalah Jurjan, sebuah kota
di Timur Tengah. Di sinilah ia bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar
Abu Raihan
Al-Biruni. Ia
kemudian berguru kepada Al-Biruni.
Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan lagi perjalanannya untuk menuntut ilmu.
Rayy dan Hamadan adalah kota selanjutnya, sebuah kota dimana karyanya yang
spektakular Qanun
fi Thib mulai ditulis. Di tempat ini pula Ibnu Sina banyak
berjasa, terutama pada raja Hamadan. Seakan tak pernah lelah, ia melanjutkan
lagi pengembaraannya, kali ini daerah Iran menjadi tujuannya. Di sepanjang
jalan yang dilaluinya itu, banyak lahir karya-karya besar yang memberikan
manfaat besar pada dunia ilmu kedokteran khususnya.
Tentu tak berlebihan bila Ibnu Sina mendapat julukan Bapak Kedokteran
Dunia. Karena perkembangan dunia kedokteran awal tidak bisa terlepas dari nama
besar Ibnu Sina. Ia juga banyak menyumbangkan karya-karya asli dalam dunia
kedokteran. Dalam Qanun fi Thib misalnya, ia menulis ensiklopedia dengan jumlah
jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Ia juga orang yang
memperkenalkan penyembuhan secara sistematis, dan ini dijadikan rujukan selama
tujuh abad lamanya. Ibnu Sina pula yang mencatat dan menggambarkan anatomi
tubuh manusia secara lengkap untuk pertama kalinya. Dan dari sana ia
berkesimpulan bahwa, setiap bagian tubuh manusia, dari ujung rambut hingga
ujung kaki kuku saling berhubungan.
Ia adalah orang yang pertama kali merumuskan, bahwa kesehatan fisik dan
kesehatan jiwa berada kaitan dan saling mendukung. Lebih khusus lagi, ia
mengenalkan dunia kedokteran pada ilmu yang sekarang diberi nama pathology dan
farmasi,
yang menjadi bagian penting dari ilmu kedokteran. Selain The Canon of Medicine,
ada satu lagi kitab karya Ibnu Sina yang tak kalah dahsyatnya. Asy-Syifa,
begitu judul kitab karya Ibnu Sina ini. Sebuah kitab tentang cara-cara
pengobatan sekaligus obatnya. Kitab ini di dunia ilmu kedokteran menjadi
semacam ensiklopedia filosofi dunia kedokteran. Dalam bahasan latin, kitab ini
di kenal dengan nama Sanati.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H/1037 M di kota Hamdan, Iran.
Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat
manusia. Hampir sebelas abad sudah Ibnu Sina meninggalkan kita, tapi ilmu dan
karyanya sampai sekarang masih berguna.
Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan
orang kepadanya. Di bidang filsafat ia mendapat gelar asy-Syaikh ar-Rais (Guru
Para Raja). Dalam
bidang filsafat, ia memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya
mempengaruhi pandangan filsafatnya.
Ibnu Sina mengakui bahwa alam diciptakan secara emanasi (memancar dari Tuhan).
Tuhan menciptakan alam dalam arti memancarkannya. Ia juga mengemuka kan
pemikiran filsafat tentang jiwa (annafs) dan kenabian. Ibnu Sina berpendapat
bahwa nabi adalah manusia terunggul dan pilihan Tuhan. Filsuf hanya dapat
menerima ilham, sedangkan nabi menerima wahyu. Oleh karena itu, ajaran nabi
harus menjadi pedoman hidup manusia.
Di bidang kedokteran ia mendapat julukan Pangeran Para Dokter dan Raja
Obat. Banyak para pembesar negeri pada masa itu yang mengundangnya untuk
memberikan pengobatan. Para pembesar negeri tersebut di antaranya Ratu Sayyidah serta
Sultan
Majdud dari Rayy, Syamsu Dawla dari Hamadan, dan Alaud Dawla
dari Isfahan. Karenanya dalam dunia Islam, ia dianggap sebagai puncah atau Bapak ilmu kedokteran.
Bukan hanya dalam filsafat dan kedokteran saja Ibnu Sina memberikan andil
dan pemikirannya. Ia juga turut serta ambil bagian dan memberikan andil pada
berbagai ilmu pengetahuan pada zamannya, di antaranya yang menonjol adalah ilmu
astronomi. Ibnu Sina menambahkan dalam bukunya al-Magest (buku tentang astronomi)
berbagai problem yang belum dibahas, mengajukan beberapa keberatan Euclides,
meragukan pandangan Aristoteles tentang kesamaan bintang-bintang tak bergerak,
kesamaan satuan jaraknya, dan sebagainya. Untuk itu di dalam buku Asy-Syifa, ia
menguraikan bahwa bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada pada satu
globe.
Ibnu Sina juga banyak membuat rumusan-rumusan tentang pembentukan
gunung-gunung, barang-barang tambang, di samping menghimpun berbagai analisis
tentang fenomena atmosfer, seperti angin, awan, dan pelangi. Sementara orang
yang sezaman dengannya tidak mampu menambahkan sesuatu ke dalam bidang
penelitian mereka.
Dalam pendidikannya, Ibnu Sina sangat haus dengan pendidikan, hidupnya
selalu diwarnai dengan belajar, diantara guru yang mendidiknya ialah ’Abu
Abdallah Al-Natali dan Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang
luar biasa ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan
sempurna dari sang guru, bahkan melebihi pengetahuan sang guru.[3] Ibnu Sina
juga secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam
otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada guru kedua ini. Hal ini
terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami Metafisika Aristoteles, sekalipun
telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal diluar kepala. Akhirnya, ia
tertolong berkat bantuan risalah kecil al-Farabi. Sirajuddin Zar menambahkan,
anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris
Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah lain,
Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah
dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.
Kehebatan Ibnu sina dalam belajar bukan hanya karena ia memiliki sistem,
tetapi sistem yang is miliki menampakkan sebuah keaslian, menunjukkan jenis
jiwa yang genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang
diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasionalis murni dan tradisi
Intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem
keagamaan Islam. Dapatlah dikemukan bahwa; keaslian yang menyebabkan dirinya
disebut unik tidak hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad
pertengahan, karena itu terjadi pula perumusan kembali teologi Katolik Roma
yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara
mendasar terpengaruh oleh Ibnu Sina.
2.
Karya-Karyanya
Ibnu
Sina tidak hanya seorang yang mempunyai andil dalam kenegaraan tetapi ia juga
seorang agamawan. Di dalam kehidupannya selama ia menuntut ilmu, ia juga
menyibukkan dirinya untuk menulis beberapa buku. Jumlah karya tulis Ibnu Sina
diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.
Adapun hasil karya Ibnu Sina yang terkenal antara lain:
Adapun hasil karya Ibnu Sina yang terkenal antara lain:
a.
As-Syifa, buku
ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, terdiri dari 4
bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku
tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakaan Barat
dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika pernah di cetak dengan cetakan batu di
Teheran. Pada tahun 1956, Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha
menerbitkan pasal keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya
ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan
di Kairo pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr.
Abdurrahman Badawi.
b.
An-Najat, buku
ini merupakan ringkasan buku yang paling populer, yakni As-Syifa, dan pernah
diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu ketdokteran pada tahun
1593 M, di Roma dan pada tahun 1331 M, di Mesir.
c.
Al-Syarat
Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, bahkan
buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M. Sedangkan sebagiannya
diterjemahkan ke dalam bahas Prancis, kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada
tahun 1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunya.
d.
Al-Hikmat
Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud
dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian
logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi
menurut Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat
Barat.
e.
Al-Qanun, atau
Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk
Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17 H. Buku tersebut pernah diterbitkan
di Roma tahun 1593 M dan India tahun 1323 M.
f.
Al-Magest, buku ini berkaitan dengan bidang
astronomi. Diantara isinya, bantahan terhadap pandangan Euclides, serta
meragukan pandangan Aristoteles yang menyamakan bintang-bintang tak bergerak.
Menurutnya, bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada dalam satu globe.
g.
De Conglutineation Lagibum, kitab ini ditulis
dalam bahasa latin, yang membahas tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya
tentang asal nama gunung. Menurutnya, kemungkinan gunung tercipta karena dua
sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi lantaran goncangan hebat
gempa. Dan kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses
itu mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan
penggelembungan pada permukaan bumi.
Selain
itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa esainya yang
terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi Sirr
Al-Qadar, Risalah fi Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah. Sedangkanpuisi
terpentingnya adalah Al-Urjuzah fi Ath-Thibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah,
dan Al-Qashidah Al-’Ainiyyah. Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis
dalam bentuk puisi ke dalam bahasa Persia.
3.
Pemikirannya
Dalam
sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
unik, sedang di antara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga
memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah
satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat
yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia
memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan
keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan
lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Di antara filsafat Ibnu Sina,
antara lain sebagai berikut:
a)
Filsafat Wujud
Mengenai
Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu
Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai
pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat
dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa
Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan Possible in essence).
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib
wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan,
timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul
jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul
langit-langit.
Walaupun
Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal, namun ada pendapat Ibnu
Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud Tuhan bersifat emanasionistis.
Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang Mesti mengalir Inteligensi pertama,
sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud.
Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu,
karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu
diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi
seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan,
yaitu: pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya
aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari
adanya kemungkinan alamiahnya.
Dua
proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai inteligensi
kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian banyak para
filsafat Muslim yang disebut ”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia
memberikan bentuk atau ”memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik
dan akal manusia. Oleh karena itu, ia juga disebut ”pemberi bentuk”.
Menurut
Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara
mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena
ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal.
Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya.
Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian
lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang
suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia tergolong salah seorang
yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian
halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang
lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu
tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga
tidak akan ada.
Ibnu
Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak
perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya
Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul
wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud
karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan
Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu
sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya.
Sebagai pembuktian dari wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat
Fushshilat ayat 53 yang artinya:
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
b)
Filsafat Jiwa
Menurut
pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali
ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun
jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak
berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir,
yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Pendapatnya
juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara
jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu
pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari
dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan
suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya
untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan
jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih
langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai
argumen, tetapi sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain
segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Kemudian
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
i. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;
i. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;
1.
Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
ii.
Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1. Gerak
(locomotion),
2. Menangkap
(perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
a. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
a. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
1) Indera bersama yang menerima segala apa yang
dirangkap oleh pancaindera,
2) Representasi yang
menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama,
3) Imaginasi yang
menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
4) Estimasi yang dapat
manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya,
umpama keharusan lari bagi kambing dari
anjing srigala,
5) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal
abstrak yang diterima oleh estimasi.
iii. Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan
demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan
dekat pada kesempurnaan.
Ibnu
Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa
bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh
karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda
pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa
adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat
diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M,
maupun pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya,
seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger
Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang
hakikat dan adanya jiwa.
c) Filsafat Tentang Ke-Nabian
Mengenai
pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia
yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual
yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak
para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya,
Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal
tersebut seperti di bawah ini:
1) Akal Materil (al’aklul hayulaani)
materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum
dilatih walaupun sedikit.
2) Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah)
yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
3) Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang
telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
4) Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu)
acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal
abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu
rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa
ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal
Aktif (al’aklu fa’aala).
Setelah
melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di
antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil
tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia
mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal
materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama
al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu
besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan
Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya
aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada
pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi
wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi
orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun
sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan
moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan
sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan
wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak
mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah
satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri
sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul
daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri
dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang
kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang
tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua
…selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara
langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal
aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi),
maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni
para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam
lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin
segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut
Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang
identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang
telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan
demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu
sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya.
Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara
esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).
4.
Atawafik (Rekonsiliasi)
Agama dan Filsafat
Corak pemikiran kaum Muslimin pada
berbagai bidang pemikiran bersifat umum, oleh sebab itu filsuf-filsuf
Islam berusaha untuk mempertemukan agama dengan filsafat yang didasarkan atas
ketentuan dan dalil-dalil fikiran semata-mata, yaitu Filsafat Yunani.
Selain karena corak pemikiran tersebut,
juga ada beberapa faktor yang mendorong ke arah pemanduan tersebut, yaitu:
·
Adanya jurang
pemisah yang dalam antara Islam dengan Filsafat Aristoteles dalam berbagai
persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya, baru atau qadimnya
alam, hubungan alam dengan Tuhan, keadaan Jiwa, dan balasan badaniah atau
rohaniah di akhirat.
·
Adanya serangan
yang banyak dilancarkan oleh kalangan yang tidak membawa hasil yang sesuai
dengan akidah agama yang telah ditetapkan sebelumnya. Sikap ini sering-sering
diikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan
penguasa-penguasa terhadap ahli-ahli fikir bebas
·
Hasrat para
filsuf sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan
tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan terlalu nampak perlawanannya
dengan agama.
Dalam Literatur lain juga menyebutkan
adanya kewajaran jika terdapat kecenderungan pemaduan agama dengan filsafat
baik dipengaruhi dari Islam itu sendiri maupun dari Yunani dan hampir seluruh
filosof Islam, di Timur (seperti Ibnu Sina salah satunya) dan di Barat. Hal
ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pada para pendahulu ,baik
dari kalangan pemikir Masehi maupun Yahudi. Faktor-faktor tersebut antara
lain :
ü Lebarnya jurang perbedaan anatara Islam yang berdasarkan
wahyu, tanpa mengecilkan peranan akal, dengan filsafat Aristoteles yang
berdasarkan akal semata-mata.
ü Kecaman yang dilakukan oleh kebanyakan pemuka agama
terhadap pembahasan akali (rasional) yang tidak terkait kesimpulannya pada
ketentuan akidah yang telah diakui sebelumnya, sehingga mengakibatkan timbul
penekanan dari para penguasa dan rakyat umum terhadap filosofi.
ü Kegemaran para filosofi itu sendiri untuk hidup tenang
agar dapat berfikir, bebas dari berbagai petaka dan kekacauan.
Tentu saja antara agama dan filsafat,
menurut sebagian filosofi yang disimpulkan penulis memiliki perbedaan yang
sangat signifikan, jika filsafat dipengaruhi oleh akal dengan memiliki batasan
atau kebebasan dalam penalaran menangkap makna-makna kehidupan ini, lain
halnya dengan agama, agama bersumber dari ilahi wahyu yang diberikan kepada
utusan-utusan-Nya yang tidak bisa diganggu gugat lagi ke Absolutannya. Akal
disini hanya mampu menjangkau wahyu yang tertulis dalam kitabnya dan memiliki
batasan.
Sehingga diperlukan Rekonsiliasi antara
agama dengan filsafat, ketika agama berbicara tentang kebenaran dan kejahatan
maka akal yang berfikir (berfilsafat) dengan cepat akal tersebut
menerimanya atau meresponnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam ajaran Islam, Allah adalah
Pencipta segala sesuatu, tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya,
serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemelihataanNya. Allah mengetahui
segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Allah yang
menciptakan alam ini dari yang tidak ada menjadi ada tanpa perantara sari
siapapun. Allah
memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.
5.
Antara Agama
dan Filsafat, Ketuhanan dan Emanasi
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah)
dengan wajib al-wujud dan mumkin al-Wujud mengesankan duplikat Al-Farabi.
Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetapi, dalam filsafat
wujudnya, bahwa segala yang ada di bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki
daya kreasi tersendiri sebagai berikut.
Ø Wajib al-wujud
esensi yang tidak bisa dipisahkan
dari wujud keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak
ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi
dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah wujudnya dengan
sabab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua
ialah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar
zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada yang pertama (wajib al-wujud li
dzatihi la li syai’in akhar)
Ø Mumkin al-Wujud
esensi yang boleh mempunayi wujud
dan boleh pula tidak berwujud, dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak
ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh
tidak ada. Mumkin al-Wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti
ada dan tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkin al-wujud bi
lidzatihi. Ia pun dapat pula dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga
disebut mumkin al-wujud bi lidzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis
mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah.
Ø Mumtani’ al-Wujud
esensi yang tidak dapat mempnyai
wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lin di samping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan tidak perlu mencari
dalil dengan salah satu mahluknya tetapi cukup dengan dalil adanya wujud
pertama, yakni Wajib al-wujud yang memerlukan sesuatu sebab yang
mengeluarkannya menjadi wujud kerena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.
Dengan demikian dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) tidak
memerlukan pada perenungan terhadap wujud itu sendiri tanpa memerlukan
wujud-Nya dengan salah satu mahluk-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas
lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah
digambarkan al-Quran dalam al-Fuhshilat 53.
Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran
itu adalah benar.
Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan
Al-Farabi, hanya saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai wujud lain
yang berbeda dari pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul
falaqil aqsha yang muncul tatkala akal ber-ta’aqqul mengeluarkan akal kedua.
Yang dimaksud jirmul faalakil aqsha adalah
langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa dari
langit denga semua planetnya. Jadi, menurut Ibnu Sina, tiap-tiap al-‘aql itu menyebabkan timbulnya tiga macam
keadaan, yaitu selain dengan akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim
langit dan planetnya serta jiwa langit dan planet-planetnya.
Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan
menggerakannya secara langsung karena berhubungan langsung dengan falak,
sedangkan al-aql menggerakannya dari
jauh karena al-aql terasing (munfarid). Al-aql mempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk
mencapai kesempurnaan dirinya.
Untuk mencapai kesempurnaannya,
falak berputar mengelilingi al-aqlul-mufarid. Namun falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai
satu tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru
kearah akal yang lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah
yang paling sempurna karena merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya
akal kedua lebih rendah dari akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari
akal kedua, dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas
kerelaan yang dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh Tuhan. Alasan logikanya,
limpahan ini berarti bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya dari
yang mengingini.
ü Emanasi Menurut Platinus
Istilah pemancaran atau emanasi sejalan dengan para
pendahulunya. Ibnu Sina juga terpengaruh oleh para filsuf Yunani, terutama
Plotinus dalam menjelaskan bagaimana dari yang satu muncul keberagaman dari
Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya hingga mencapai akal sepuluh dan bumi. Dari
akal sepuluh memancar segala sesuatu di bumi yang berada di bawah bulan. Akal
pertama adalah adalah malaikat tertinggi dan akal sepuluh adalah jibril.
Jika Konsep akal Farabian memiliki dua obyek pemikiran,
yaitu berfikir mengenai Tuhan sebagai wujud pertama dan berfikir tentang
dirinya sendiri, lain halnya dengan konsep Ibnu Sina yang memiliki tiga obyek
perenungan. Akal pertama yang mempunyai dua sifat, yaitu wajib al-Wujud
lighairihi sebagai pancaran dari
Tuhan, dan mumkin al-wujud lizatihi
apabila ditinjau dari hakikat dirinya. Akal pertama mempunyai tiga obyek
pemikiran, yakni Tuhan, dirinya sendiri sebagaimana wajib wujudnya, dan dirinya
sebagai mumkin wujudnya, ketika akal memikirkan Tuhan akan timbul
akal-akal yang lainnya, timbul jiwa-jiwa, dan dari aktivitas berfikir tentang
dirinya sebagai mumkin wujudnya sebagai langit-langit. Jadi, akal pertama
melimpahkan tiga wujud : akal kedua, jiwa pertama, dan langit tempat fixed
stars.
Kemudian, filsafat Plotinus yang
berprinsip bahwa Dari yang satu hanya satu yang melimpah”. hal ini diislamkan
oleh Ibnu Sina (juga Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi.
Hal ini memungkinkan karena dalam
Al-Quran tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam materi
yang sudah ada atau dari tiadanya.
Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu
Sina dan Plotinus sama, namn hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat
dikatakan, Yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser
menjadi Allah Pencipta (Shani, agent) yang aktif. Dia menciptakan alam materi
yang sudah ada secara pancaran.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina
sependapat dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib
wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau
dari hakikat dirinya. Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga
macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada
dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu
dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh
atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan
kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi
(memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses
emanasi tersebut memancar segala yang ada. Tuhan adalah wajibul wujud (jika
tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada
atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
Agama dan filsafat adalah
objeknya sedangkan filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan adalah
subyeknya yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda pula sesuai
dengan keadaan pada masa itu. wajar saja jika agama dan filsafat mampu di
rekonsiliasi sementara Filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan bertolak
belakang. Hal ini disebabkan makin maju dan berkembangnya zaman. walau tidak
dapat dipungkiri ada pengaruh pemikiran filosof pada masa Yunani.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Dahlan, Abdul Azis, Filsafat” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2 Jilid. 4, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
---------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Daudy,
Ahmad. 1984. Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta : Bulan
Bintang
Hakim,
Atang Abdul. dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung : CV
Pustaka Setia
Mustofa,
A. 1997. Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia
Poerwantoro, A. Ahmadi dan M.A Rosali.1994. Seluk Beluk Filsafat Islam.
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu,
Erlangga,
Jakarta, 2006.
Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1994.
Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah, Bandung,
2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar